top of page

KERJA, S2, ATAU NIKAH DULU?


Kalo diliat dari judul, berasa lagi nonton iklan Fair N Lovely ya :D Iklan yang bercerita tentang seorang gadis cantik berhijab yang sedang kebingungan dalam menentukan pilihannya ”nikah dulu atau S2 dulu baru menikah?”. Pada kenyataannya kebingungan inilah yang dihadapi oleh generasi milenial khususnya bagi kaum hawa.


Kerja atau S2 atau Nikah dulu?


Memang sebuah pilihan yang cukup sulit apalagi bagi freshgraduater yang masih sangat kebingungan dalam menentukan masa depannya. Jangankan memikirkan pernikahan, memilih pekerjaan yang cocok saja sulit, ditambah lagi sedikitnya lowongan pekerjaan saat ini. Pilihan melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 bisa menjadi alternatif untuk yang kesulitan mencari pekerjaan supaya tidak di cap sebagai pengangguran. Apalagi saat ini melanjutkan pendidikan S2 semudah membalikkan tangan, ya tentunya pilihan ini berlaku bagi sebagian dari mereka yang berasal dari keluarga yang cukup mampu dari segi ekonomi.


Lalu bagaimana dengan mereka yang punya keinginan besar untuk melanjutkan pendidikan S2 namun (mungkin) belum mampu untuk membiayai kuliahnya?


Kata mahfudzot, “Man jadda wajada” yang artinya, “Barang siapa yang bersunggguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya”. Atau pepatah yang sering kita dengar, ”Masih banyak jalan menuju Roma”. Dua kata mutiara ini menjadi penyemangat bagi mereka yang memiliki niat besar untuk melanjutkan pendidikan S2 tanpa merepotkan bantuan dari orang tua atau lainnya. Salah satunya ialah mengambil beasiswa pemerintah maupun swasta. Ataupun, bisa dengan bekerja paruh waktu untuk membiayai biaya Pendidikan S2. Menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan S2 tentunya harus dibarengi dengan tujuan yang jelas supaya gelar yang nantinya didapatkan tidak sia-sia. Sebagian orang melanjutkan S2 untuk melancarkan prosesnya dalam kenaikan jenjang karir, ada juga untuk menjadi pendidik (dosen), peneliti, atau hanya sekedar ingin menambah ilmu dan wawasan.


Pilihan lain yang tak kalah pentingnya ialah menikah (khususnya bagi perempuan). Bagi perempuan setiap pilihan harus diperhitungkan dengan sangat tepat, mengingat “perempuan itu dipilih” katanya. Bagi kalangan freshgraduater yang rata-rata sudah memasuki usia yang matang untuk menikah, biasanya sudah mulai kalang kabut “mencari” di saat semester akhir kuliah. Banyak saya lihat senior atau teman sekitar, semakin semester akhir mendekati sidang skripsi malah sibuk juga ikhtiar untuk bertemu jodoh. Alhasil, terkadang dalam pengerjaan skripsi ada yang semangat karena sudah bertemu dengan yang diikhtiarkan, tapi tak sedikit juga yang malah menambah kegalauannya; galau pembimbing yang susah ditemui ditambah lagi galau doi yang tak kunjung ketemu, hehe. Selain itu, ternyata banyak juga mahasiswa yang sudah menikah sebelum mereka lulus kuliah D3/S1.


Menurut saya, pada intinya, apapun itu pilihan yang diambil harus diniatkan dengan niat yang baik. Jangan sampai hanya karena gengsi atau ikut-ikutan. Jika pilihannya kerja, diniatkan untuk membahagiakan dan membanggakan orang tua dengan demikian kita mendapatkan ridho Allah SWT. Jika pilihannya melanjutkan Pendidikan S2, diniatkan untuk mencari ilmu di jalan Allah SWT. Dan jika pilihannya menikah, diniatkan karena sudah merasa mampu dan yakin sudah bertemu dengan pilihan Allah SWT.


LEDY’S LIFE MAP

Nah, kalau saya sendiri sudah memetakan cita-cita saya sejak SMA. Peta tersebut merupakan perencanaan jenjang karir dan hidup yang saya buat mulai dari umur 17 tahun sampai 45 tahun, “Life Mapping” namanya. Saya bercita-cita untuk menjadi pendidik, entah itu guru, dosen, atau pemilik sekolah (Amin ya Rabbalalmin. Bercita-cita bolehkan, hehe). Cita-cita inilah yang membuat saya memiliki niat untuk menyelesaikan studi S2 sebelum menikah. Tidak ingin merepotkan oran tua, saya mulai merintis bisnis dengan modal tabungan yang saya dapatkan dari beasiswa sarjana. Perbulan saya sisihkan sekitar 200-300ribu, hingga terkumpul dan saya memulai bisnis ketika semester 3 kuliah S1 (2014) hingga saat ini. Uang hasil bekerja saya gunakan sebagai jajan tambahan selama tinggal di perantauan, dan sebagian disisihkan ke dalam tabungan


Setelah menyelesaikan pedidikan sarjana, tanpa keraguan saya lansung memersiapkan studi S2; mulai dari mencari beasiswa baik di dalam maupun luar negeri. Banyak macam beasiswa yang saya apply. Mulai dari beasiswa pemerintah maupun beasiswa swasta. Tapi sayang jika harus melanjutkan studi S2 dengan beasiswa itu artinya saya harus menunggu kurang lebih satu tahun lagi karena proses beasiswa cukup lama, itupun belum tentu lolos. Akhirnya dengan segala perhitungan, saya putuskan untuk melanjutkan S2 dengan uang tabungan yang saya miliki. Dan untuk bayaran semesterannya saya kumpulkan lagi dari pekerjaan paruh waktu; berbisnis, mengajar privat, dan membantu riset dosen. Alhamdulillah, dengan alasan melanjutkan pendidikan S2 menggunakan biaya pribadi inilah yang memotivasi saya untuk segera menyelesaikan pendidikan secepat mungkin. Dan Alhamdulillah, saya menyelesaikan pendidikan S2 dalam kurun waktu 1,5 tahun atau 3 semester.


Skenario Sang Maha Pemilik Hati begitu indah. Di penghujung Pendidikan S2, Allah menggerakkan hati seorang pemuda untuk meminta saya melakukan taaruf dengannya. Masih teringat jelas waktu itu tanggal 12 Januari 2017, saya sedang sibuk dengan kerjaan tiba-tiba dapat pesan seperti itu. Pesan ajakan taaruf itu seperti petir di siang bolong. Hati berdebar saking senangnya, tapi saya buru-buru ucapkan astagfirullah sebagai rem diri. Dari proses taaruf hingga ke pernikahan saya terbilang cukup lama, kurang lebih satu tahun, karena saya mengkuti “Life Map” yang telah saya buat 5 tahun lalu. Alhamdulillah Allah ridhoi semuanya sehingga pria itu bersedia menunggu hingga saya menyelesaikan pendidikan S2. Singkat cerita, dengan penuh drama dan kesungguhan, masih dengan pemuda yang sama, ijab qobul kami dilakukan pada Jumat, 13 April 2018 lalu. Satu tempat dalam “Life Map” telah terlewati, Insha Allah semoga dipermudah untuk melewati tempat-tempat lainnya bersama pemuda yang saat ini saya panggil “suami”.

bottom of page